Kamis, 20 September 2007

Hubungan Sejarah Aceh dan Tiongkok

Kemarin (Kamis, 19 September 2007), The Fantasix kembali melakukan penjelajahan di dunia maya untuk mencari keterangan mengenai desain dalam label Jamu Jakula. Dari penjelajahan kali ini, kami menemukan sebuah artikel yang cukup menarik yang dapat membantu kami lebih mengeri mengenai riwayat masyarakat Tionghoa di Aceh (Jamu Jakula berasal dari Aceh dan kami menduga bahwa rancangan labelnya terpengaruh oleh budaya Tionghoa).

Artikel ini kami dapat dari website Forum Budaya Tionghoa (www.budaya-tionghoa.org) dan di-post oleh xuan-tong dengan judul Komunitas Tionghoa dan Aceh setelah Pilkada. Sebelum kami membahas mengenai hal-hal yang kami peroleh dari artikel tersebut, kami akan menampilkan isi artikel tersebut dalam blog ini sebagai berikut.

Komunitas Tionghoa dan Aceh setelah Pilkada
Posted on Friday, January 05 @ 07:45:49 EST by xuan-tong

Belum lama berselang ada satu postingan didalam milis ini dari Halim
El Bambi(8 Desember 2006) , mengenai undangan dari Jurnal
Ilmiah "Seumikee" Aceh Institute, untuk menulis satu artikel tentang
Aceh, dan salah satu tema tulisannya adalah mengenai "Budaya dan
kesenian, misalnya kapan budaya Tionghoa masuk ke Aceh dst.". dan
ini adalah sesuatu ide yang baik dan positif untuk ditanggapi.
Tulisan-tulisan mengenai hal ini memang dirasakan masih sedikit
atau terbatas, walaupun komunitas Tionghoa dalam sejarahnya telah
berada di Aceh sejak ratusan tahun yang lalu.



Dan sehubungan dengan pelaksanaan Pilkada Aceh baru-baru ini, dan
Irwandi Jusuf terpilih sebagai calon gubernur pertama Nangroe Aceh
Darussalam, maka Aceh akan memulai babak sejarahnya yang baru.
Karenanya pembahasan ini menjadi relevan, sekurang-kurangnya suatu
ulasan sedikit mengenai sejarah dan peranan komunitas Tionghoa di
Aceh selama ini.


Hubungan sejarah Aceh dan Tiongkok

Catatan sejarah tertua dan pertama-tama mengenai kerajaan-kerajaan
di Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam
catatan sejarah dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu
kerajaan yang terletak di Sumatra Utara pada abad ke-6 yang
dinamakan Po-Li dan beragama Budha. Pada abad ke-13 teks-teks
Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-
li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282, diketahui
bahwa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan
Shamsuddin) utusan ke Tiongkok.

Didalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya
bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap
mengenai kota-kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la
(Samudra), Lan-wu-li (Lamuri).
Dalam catatan Dong-xi-yang-kao (penelitian laut-laut timur dan
barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah
catatan terperinci mengenai Aceh modern.

Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai
dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah, India sampai
Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada jalur
sutera laut yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur
Tengah, dimana para pedagang dari berbagai negara mampir
dahulu /transit sebelum melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok
atau Timur Tengah, India.

Kota Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad
13) dan Ibnu Batuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari
Tiongkok. Barang dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai
ini adalah lada dan banyak diekspor ke Tiongkok, sebaliknya banyak
barang-barang Tiongkok seperti Sutera, Keramik, dll. diimpor ke
Pasai ini. Pada abad ke 15, armada Cheng Ho juga mampir dalam
pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar yang tertanggal
1409 (Cakra Donya) kepada raja Pasai pada waktu itu.

Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan Islam
(dan Perlak) yang pertama di Indonesia dan pusat penyebaraan Islam
keseluruh Nusantara pada waktu itu. Ajaran-ajaran Islam ini
disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur Tengah) atau Gujarat
(India), yang singgah atau menetap di Pasai.

Dikota Samudra Pasai ini banyak tinggal komunitas Tionghoa, seperti
adanya "kampung Cina", seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja
Pasai. Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri,
komunitas Tionghoa telah berada di Aceh sejak abad ke-13. Karena
Samudra Pasai ini terletak dalam jalur perdagangan dan pelayaran
internasional serta menjadi pusat perniagaan internasional, maka
berbagai bangsa asing lainnya menetap dan tinggal disana yang
berkarakter kosmopolitan dan multietnis.

Tome Pires menyebutkan bahwa kota Pasai adalah kota penting yang
berpenduduk 20.000 orang. Pada tahun 1524 Samudra Pasai ditaklukan
oleh Sultan Ali Mughayat Syah dari kerajaan Aceh Darussalam dan
sejak itu Samudra Pasai merosot dan pudar pamornya untuk
selamanya.

Puncak kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam adalah ketika pada jaman
Sultan Iskandar Muda (1607-36), Aceh pada waktu jaman Iskandar Muda
ini adalah negara yang paling kuat diseluruh Nusantara. Ia
meluaskan wilayah kekuasaannya dan memerangi Portugis, Kesultanan
Johor, Pahang dll. Aceh juga merupakan sebuah negara maritim dan
sebagai salah satu pusat perdagangan internasional. Banyak pedagang
asing singgah dan menetap di Aceh, seperti dari Arab, Persia, Pegu,
Gujarat, Jawa, Turki, Bengali, Tionghoa, Siam, Eropah dll.

Di kota kerajaan ini (Banda Aceh sekarang), banyak dijumpai
perkampungan-perkampungan dari berbagai bangsa, seperti kampung
Cina, Portugis, Gujarat, Arab, Pegu, Benggali dan Eropah lainnya.
Kota Aceh ini benar-benar sebuah kota kosmopolitan yang berkarakter
internasional dan multietnis. Seperti di Samudra Pasai, Aceh juga
banyak menghasilkan Lada yang diekspor ke Tiongkok.

Pada waktu itu orang Aceh juga telah menguasai pembuatan atau
pengecoran pembuatan Meriam dan tidak semua meriam di Aceh adalah
buatan luar negeri (seperti meriam buatan Turki atau Portugis).
Orang Aceh mendapatkan ilmu pembuatan meriam ini dari orang
Tionghoa (Kerajaan Aceh, Denys Lombard). Demikian juga dengan
pertenakan sutera yang sudah dikuasai oleh orang Aceh yang
kemungkinan besar diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa.

Pengganti Sultan Iskandar Muda adalah mantunya sendiri yang bernama
Sultan Iskandar Thani (1636-41). Periode pemerintahan Iskandar
Thani ini adalah awal dari kemerosotan Kerajaan Aceh Darussalam,
periode pemerintahannya juga sangat singkat. Iskandar Thani tidak
melakukan politik ekspansi wilayah lagi seperti mertuanya dan
lebih memusatkan kepada pengetahuan dan ajaran Islam.

Pernah pada jaman Sultan Iskandar Thani ini orang Tionghoa
dikenakan larangan untuk tinggal di wilayahnya, karena dianggap
memelihara Babi. Pada jaman Iskandar Thani ini di ibukota kerajaan
telah dibangun sebuah taman yang dinamakan "Taman Ghairah", seperti
yang dikisahkan dalam buku Bustan us-Salatin karangan Nuruddin ar-
Raniri(orang Gujarat,penasihat Sultan,ahli tasawuf). Diceritakan
bahwa didalam taman itu telah dibangun sebuah "Balai Cina"
(paviliun) yang dibuat oleh para pekerja orang Tionghoa.

Peranan orang Tionghoa dibidang perdagangan di Aceh diperkirakan
bertambah besar pada paruh kedua abad ke-17. Selain ada yang
tinggal dan berdagang secara permanen di ibukota Aceh ini, ada juga
pedagang musiman yang datang dengan kapal layar (10-12 kapal sekali
datang) pada bulan-bulan tertentu seperti pada bulan Juli. Kapal-
kapal (Jung) Tionghoa tersebut juga membawa beras ke Aceh (impor
beras dari Tiongkok). Mereka tinggal dalam perkampungan Cina dekat
pelabuhan , yang sekarang mungkin lokasinya disekitar "Peunayong"
(Pecinan Banda Aceh).

Bersama dengan kapal itu juga datang para pengrajin bangsa Tionghoa
seperti tukang kayu, mebel, cat dll. Begitu tiba mereka mulai
membuat koper, peti uang, lemari dan segala macam lainnya. Setelah
selesai mereka pamerkan dan jual didepan pintu rumah. Maka selama
dua atau dua bulan setengah berlangsunglah "pasar (basar) Cina" yang
meriah. Toko-toko penuh sesak dengan barang dan seperti biasanya
orang-orang Tionghoa ini tidak lupa juga untuk bermain judi seperti
kebiasaannya. Pada akhir September, mereka berlayar kembali ke
Tiongkok dan baru kembali lagi tahun depannya. Barang-barang dari
Tiongkok ini ada beberapa diantaranya diekspor ke India.(Kerajaan
Aceh, Denys Lombard)

Cakra Donya

Lonceng atau genta yang terkenal dan termasyhur (icon kota Banda
Aceh) di Aceh ini sekarang diletakkan di Musium Aceh, Banda Aceh.
Lonceng yang dibawa oleh Cheng Ho ini adalah pemberian Kaisar
Tiongkok, pada abad ke-15 kepada Raja Pasai. Ketika Pasai
ditaklukkan oleh Aceh Darussalam pada tahun 1524, lonceng ini dibawa
ke Kerajaan Aceh. Pada awalnya lonceng ini ditaruh diatas kapal
Sultan Iskandar Muda yang bernama `Cakra Donya " (Cakra Dunia)
waktu melawan Portugis, maka itu lonceng ini dinamakan Cakra Donya.

Kapal Cakra Donya ini bagaikan kapal induk armada Aceh pada waktu
itu dan berukuran sangat besar, sehingga Portugis
menamakannya "Espanto del Mundo" (teror dunia). Kemudian Lonceng
yang bertuliskan aksara Tionghoa dan Arab (sudah tak dapat dibaca
lagi aksaranya sekarang) ini diletakkan dekat mesjid Baiturrahman
yang berada dikompleks Istana Sultan. Namun sejak tahun 1915 lonceng
ini dipindahkan ke Musium Aceh dan ditempatkan didalam kubah hingga
sekarang (halaman Musium). Lonceng Cakra Donya ini telah menjadi
benda sejarah kebanggaan orang Aceh hingga sekarang. Lonceng ini
juga juga merupakan bukti dan simbol hubungan bersejarah antara
Tiongkok dan Aceh sejak abad ke-15.


Masjid Raya Baiturrahman

Masjid Baiturrahman dibangun oleh pemerintah Belanda sebagai
pengganti masjid yang sama namanya yang dihancurkan oleh Belanda
sebelumnya pada tahun 1874 . Jadi dalam rangka mengambil hati rakyat
Aceh, masjid ini dibangun kembali. Peletakan batu pertamanya pada
bulan Oktober 1879 dan selesai pada Desember 1881. Arsiteknya
adalah seorang Belanda yang bernama Bruins dari Departemen PU.
Bahan bangunannya banyak yang diimpor dari luar negeri seperti batu
pualam dari Tiongkok dan besi jendela dari Belgia.

Pembangunan masjid Baiturrahman ini dilaksanakan oleh seorang
pemborong atau kontraktor Tionghoa yang bernama Lie A Sie. Bukan
saja kontraktornya seorang Tionghoa, para pekerjanya-pun hampir
sebagian besar terdiri dari pekerja orang Tionghoa yang memiliki
ketrampilan khusus, karena bangunan konstruksi dan detailnya cukup
rumit. Orang Aceh yang diharapkan dapat bekerja disana ternyata
sangat mengecewakan bouwherrnya. (Sejarah Daerah Propinsi Daerah
Istimewa Aceh, , Depdikbud, 1991). Pada peristiwa tsunami tahun
2004, bangunan masjid ini berdiri dengan ajaib, kokoh dan tidak
mengalami kerusakan yang berarti, walaupun diterjang oleh pasang
air laut yang dahsyat.

Jaman Orba

Jaman Orba (Suharto) adalah masa-masa yang gelap dalam sejarah
komunitas Tionghoa di Aceh. Pada 8 Mei 1966, Pangdam Aceh Brigjen
Ishak Djuarsa (orang Sunda, bukan Aceh) mengumumkan untuk mengusir
semua warga Tionghoa dari Aceh sebelum 17 Agustus 1966. Akibatnya
sekitar 15.000 warga Tionghoa mengungsi dengan baju dan
perlengkapan seadanya mengungsi ke Medan. Mereka ditampung
dijalan Metal (kamp Metal), gudang tembakau, bekas sekolah Tionghoa
dan klenteng-klenteng. Hal yang sama dilakukan oleh Pangdam Jawa
Timur, Jenderal Soemitro ketika itu terhadap warga Tionghoa di Jawa
Timur.

Di kota Medan sendiri tembok-tembok penuh dengan coretan-coretan
seperti "Orang-orang Cina pulang ! dan sekali Cina tetap Cina !".
Di Medan-pun mereka masih diteror, seperti yang dikatakan oleh
Pangdam Sumtera Utara pada Oktober 1966, Brigjen Sobirin Mochtar
yang mengatakan bahwa demo-demo anti Tionghoa sampai sekarang tidak
cukup untuk mematahkan dominasi Tionghoa dalam perekonomian setempat
dan harus menolak atau menjual barang kepada orang Tionghoa serta
mengawasinya agar orang-orang enggan berbelanja kesana. Ormas Orba
seperti KAMI, KAPPI dan KENSI (pengusaha) Sumatera Utara juga
menuntut pemerintah untuk mengusir semua warga Tionghoa dari
Sumatera Utara dan Indonesia.

Ketika itu Tiongkok yang masih dalam kondisi kembang kempis dalam
negerinya sendiri, terpaksa mengirim kapal "Kuang Hua" untuk
menjemput warga Tionghoa yang diusir dari Aceh ini. Selama 4 kali
pelayaran, kapal Kuang Hua berhasil merepatriasi sebanyak 4000 orang
pengungsi Aceh dari Medan. Diberitakan bahwa kondisi kamp-kamp
pengungsian di Medan itu sangat buruk kondisinya, air untuk minum-
pun sengaja dikurangi hingga beberapa pengungsi harus minum dari
keran air WC yang disaring dan dikumpulkan.

Pada waktu itu orang-orang Tionghoa harus menolong dirinya sendiri,
karena tidak ada negara asing, badan sosial dunia , LSM, atau badan-
badan Internasional lainnya yang (mau) membantu. Pada jaman Orba
itu, banyak aset-aset komunitas Tionghoa diambil alih dan disita,
seperti misalnya gedung sekolah SMA Negeri 2 dan SMP 4 yang
sebelumnya adalah bekas sekolah Tionghoa di Banda Aceh. Demikian
juga dengan gedung di kawasan Pusong Lhokseumawe yang pernah menjadi
SMEA Negeri dan PGA Negeri, atau Gedung Ampera di Langsa yang juga
pernah menjadi SMEA dan Komisariat KAPPI di Aceh Timur. Akibat
sentimen anti Tionghoa yang keras pada saat itu (antitesis daripada
karakter dan tradisi orang Aceh), maka banyak warga Tionghoa
meninggalkan Aceh berpindah ke Medan, Jakarta atau kota-kota lainnya
di Sumatera atau Indonesia.

Tsunami

Pada peristiwa tsunami tahun 2004, banyak warga Tionghoa Aceh yang
menjadi korbannya dan meninggal. Sekitar 6000 orang Tionghoa telah
mengungsi ke Medan dan ditampung di kamp Metal. Di kamp pengungsian
Medan ini bukan hanya warga Tionghoa saja yang ditampung untuk
mendapatkan akomodasi dan perawatan, warga dari etnis lainpun
ditampung di kamp-kamp pengungsian tersebut, tanpa perbedaan..

Diperkirakan sekitar 1000 warga Tionghoa meninggal pada waktu
peristiwa tsunami itu yang kebanyakan bermukim di "Peunayong"
atau pusat perniagaan, perdagangan atau pecinan di Banda Aceh.
Mereka juga banyak yang mengeluh, bahwa toko-tokonya ada yang
dijarah ketika itu (sekitar 60% pertokoan di Banda Aceh milik warga
Tionghoa). Tidak semua warga Tionghoa itu ekonominya berkecukupan
atau kaya di Banda Aceh, warga Tionghoa yang miskin-pun dapat
dijumpai disana seperti mereka yang tinggal di Kampung Mulia dan
Kampung Laksana, yang tak jauh dari Peunayong.

Dan tidak semuanya warga Tionghoa dari Banda Aceh ini mengungsi ke
Medan, beberapa diantaranya tetap bertahan di Banda Aceh, seperti
sepasang suami istri pemilik toko kaca mata "Joy Optikal", dimana
separuh pelanggannya telah meninggal dunia. Pemilik toko Jay
Optikal, Maria Herawati berkata "Hidup atau Mati, saya akan tetap
tinggal di Aceh" (The Christian Science Monitor, February 18, 2005).

Kepedulian komunitas Tionghoa terhadap Aceh dapat dilihat juga
dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh berbagai organisasi
dan individu Tionghoa pada waktu pasca bencana tsunami dengan
memberikan bantuan yang dibutuhkan, termasuk juga warga Tionghoa
Indonesia yang bermukim di Amerika Serikat seperti ICCA (Indonesian
Chinese American Association) yang berkedudukan di Monterey Park,
California serta Organisasai-organisasi Tionghoa lainnya dari
Singapore, Malaysia dan Taiwan juga datang memberikan bantuan.

Pemerintah Tiongkok-pun telah mengirimkan 353 kontainer berisi bahan
bangunan untuk membangun sekolah di Aceh. Bantuan dengan berat
total 7000 ton itu akan dipakai untuk membangun 60 sekolah yang
masing-masingnya terdiri dari 15 kelas. Bantuan ini diberikan sesuai
dengan permintaan pemerintah Indonesia. Selain itu Dubes Tiongkok
untuk Indonesia , Lan Li Jun, mengatas namakan sumbangan dari rakyat
Tiongkok, memberikan sumbangan 12 juta dolar lebih untuk membangun
pemukiman baru dengan 660 unit rumah tipe 42 di Desa Neuheuen,
kabupaten Aceh Besar. Selain perumahan yang dibangun diatas lahan
seluas 22,4 ha itu, akan dibangun juga gedung TK, SD, pertokoan,
Puskesmas, balai pertemuan, tempat bermain dan lapangan sepakbola.
Perumahan ini nantinya akan dinamakan Kampung Persahabatan Indonesia-
Tiongkok.


Pasca tsunami dan rekonstruksi Aceh

Berdasarkan pengalaman yang lalu, seperti pada pasca kerusuhan di
Maluku (Ambon, Ternate dan Halmahera), pembangunan kembali atau
rehabilitasi suatu daerah pasca bencana, dibutuhkan suatu kegiatan
ekonomi untuk benar-benar dapat kembali seperti sedia kala. Adalah
tidak cukup hanya terbatas pada rehabilitasi tempat tinggal,
prasarana teknis dan sosial lainnya. Memiliki tempat tinggal
tetapi tidak ada kegiatan ekonomi, berarti juga tidak memecahkan
masalah

Tanpa adanya kegiatan ekonomi atau aktivitas perdagangan, sulit
kiranya untuk berjalan normal kembali, seperti kemana rakyat
nantinya menjual hasil buminya atau tangkapan ikannya. Secara
tradisionil dan sederhana, seorang nelayan misalnya dapat berhutang
dahulu kepada seorang pedagang atau Taoke setempat sebelum melaut
(untuk mendapatkan bahan bakar, es batu untuk mengawetkan ikan,
makanan, sewa perahu, perlengkapan menangkap ikan, dll).

Hasil tangkapannya atau hasil bumi ini biasanya ditampung dan
dibeli oleh para pedagang setempat dan sebagian dipergunakan
untuk membayar hutang atau uang mukanya kembali. Selebihnya
dipergunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari yang disalurkan
oleh para pedagang sebagai distributornya, dengan demikian kegiatan
ekonomi dapat berjalan lagi. Suka atau tidak suka, model atau
interaksi perdagangan inilah yang telah berfungsi sampai sekarang.

Metode canggih dan modern seperti mendapatkan kredit dari Bank
Perkreditan Rakyat setempat, relatif sukar untuk dilaksanakan
bagi nelayan atau petani kebanyakan, karena prosedur dan
birokrasinya berbelit serta makan waktu dan biaya, pada umumnya
mereka tidak memiliki aset yang dapat dijadikan agunan atau
kolateral, kecuali tenaga kerjanya sendiri. Karenanya Gubernur
Maluku telah menghimbau kepada warga Tionghoa yang berasal dari
Ambon dan Ternate, untuk kembali kesana untuk menjalankan roda
perekonomiannya kembali.

Demikian juga dengan di Aceh, warga Tionghoa dapat berperan
menjalankan roda ekonominya kembali di Aceh. Berbeda dengan di
Maluku, Aceh banyak menerima bantuan-bantuan dari lembaga
Internasional. Tetapi inipun harus dilanjuti dengan suatu kegiatan
ekonomi.


Kedudukan Geostrategis Aceh

Aceh dikenal sebagai salah satu propinsi yang kaya akan sumber
alamnya di Indonesia dan kelebihan Aceh dibandingkan dengan
propinsi lainnya di Indonesia adalah lokasinya yang strategis
sama seperti pada abad-abad yang lalu. Aceh terletak di jalur lalu
lintas pelayaran Internasional atau disebut SLOC (Sea Lines of
Communication) yaitu di selat Malaka yang sangat strategis dan
merupakan pintu gerbang yang menghubungi lautan Pasifik dengan
lautan Hindia.

Selat Malaka yang panjangnya sekitar 900 km itu
diliwati sekitar 50.000 kapal setiap tahunnya serta 11 juta barel
minyak diangkut oleh kapal tanker melintas selat ini setiap
harinya, serta seperempat perdagangan dunia dan 80% kebutuhan
minyak Jepang dan Tiongkok diangkut melalui selat ini.

Dari segi geografis, Aceh terletak berdekatan dengan pusat-pusat
pertumbuhan baru di abad 21 yaitu Tiongkok dan India. Dengan kedua
negara ini, Aceh telah memiliki hubungan perdagangan yang
bersejarah sejak beberapa abad yang lalu. Jadi Aceh terletak
dipersimpangan jalur perdagangan internasional dan budaya.

Karena posisinya yang strategis ini maka Aceh menjadi pusat
pertemuan, perhatian dan kepentingan pihak-pihak nasional dan
internasional serta negara lainnya. Maka tidak heran kalau negara
EU dan negara lainnya berkepentingan menjadi mediator perdamaian
di Aceh dan beberapa orang-orang penting seperti Clinton, mantan
presiden AS juga datang berkunjung ke Aceh lebih dari satu kali..

Pada perang kemerdekaan 1945, menjelang persetujuan Renville,
Belanda meningkatkan blokade ekonominya terhadap Republik Indonesia,
terutama di Jawa dan Sumatera. Sejak itu pemerintahan RI melakukan
berbagai usaha untuk menembus blokade ini dari Aceh keluar negeri
(Malaya, Singapura, Thailand).

Selama perang kemerdekaan, Aceh tidak pernah dikuasai Belanda.
Dengan demikian Aceh merupakan daerah aman atau basis untuk
menampung senjata yang didatangkan dari luar negeri. Dalam hubungan
ini seorang Tionghoa, Mayor John Lie beserta kawan-kawannya berhasil
menerobos blokade Belanda melalui Aceh dengan mempergunakan speed
boat, dan salah satu speed boatnya terkenal dengan nama " The
Outlaw".


Aceh setelah Pilkada

Berdasarkan hasil perhitungan cepat yang dilakukan oleh Lingkaran
Survey Indonesia, pasangan Irwandi Jusuf dan Muhammad Nazar
memenangkan pemilihan calon gubernur Nangroe Aceh Darusallam.
Pelaksanaan Pilkada Aceh ini berjalan relatif aman dan damai, dan
ini akan merupakan awal lembaran baru sejarah Aceh, yang selama
ini telah dilanda konflik berdarah dan bencana alam tsunami.

Irwandi Jusuf, 46 tahun, sebagai calon gubernur pertama Aceh yang
otonom adalah generasi muda GAM, yang pernah ikut bergerilya
bersenjata. Ia juga pernah mendapatkan pendidikan di Oregon, AS
sebagai doker hewan, dan fasih berbahasa Inggris. Selama kampanye
Irwandi terlihat bersikap moderat dan sering berpakaian
tradisional Aceh dalam setiap penampilannya.

Apakah hasil Pilkada dan otonomi yang dicapainya sekarang dapat
membawa kesejahteraan kepada masyarakatnya, dan tidak mengulangi
seperti yang sering terjadi, dimana otonomi daerah relatif sedikit
membawa kemajuan yang berarti bagi masyarakat dan daerahnya,
kecuali beberapa Gubernur atau Bupatinya yang ditahan oleh KPK
karena terlibat KKN, masih harus dibuktikan oleh Irwandi Jusuf dan
Muhammad Nazar. Dan ini adalah tugas dan tantangan bagi mereka
berdua.

Pembangunan infrastruktur dan ekonomi adalah prioritas utama di Aceh
sekarang. Dengan kekayaan alam yang besar dan lokasinya yang
strategis, maka hal ini sebenrnya mempermudah modal asing untuk
datang dan investasi ke Aceh. Tetapi sampai kini, Aceh masih
terkesan sebagai sebuah propinsi yang konservatif dengan polisi
syariah-nya.

Bagaimana Aceh dapat memadukan nilai-nilai Islam dengan
modernisasi adalah suatu tantangan bagi Irwandi Jusuf. Bukannya
mustahil bahwa Aceh suatu waktu dapat menjadi sebuah propinsi
percontohan bagi yang lainnya.

Pada hakikatnya Aceh sebagai negeri yang memiliki sejarah tradisi
Maritim, memiliki sifat keterbukaan terhadap dunia luar, terbuka
untuk ide-de baru, kosmopolitan, multietnis dan bertoleransi serta
tempat bertemu dan bercampurnya (melting pot) berbagai bangsa
yang ikut membentuk identitas orang Aceh sekarang, maka Aceh
dikenal dengan singkatan sebagai (A)rab, (C)ina, (E)ropah, (H)
industan atau India.

Dalam pembangunan Aceh paska Pilkada yang bersejarah ini, komunitas
Tionghoa dapat berperan dalam pembangunan ekonominya nanti. Bukan
saja dibidang dibidang pembangunan perekonomian saja, dibidang-
bidang lainnya juga harus dapat diberikan kesempatan yang sama
kepada mereka tanpa kecurigaan dan perbedaan dalam membangun Aceh
bersama.

Salah satu pelopor dan pejuang hak-hak azasi manusia di Indonesia
adalah putera Aceh dari etnis Tionghoa yaitu Yap Thiam Hien,
demikian juga dengan sebuah terobosan kultural yang berani di era
reformasi ini, yaitu siaran stasiun TV nasional pertama di
Indonesia yang berbahasa Tionghoa, Metro Xinwen (Metro TV) yang
dipelopori oleh orang Aceh, Surya Paloh.

Salam,
GH.


Catatan : sumbangan dari sdr.Golden Horde

Bibliography: http://www.budaya-tionghoa.org/modules.php?name=News&file=print&sid=506

Tidak ada komentar: